Minggu, 02 Februari 2014

Filled Under:

Cinta Windy Setiadi kepada Negeri



KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Windy Setiadi
JAKARTA, KOMPAS.com -- Cinta Windy Setiadi (29) kepada negeri dan musik tak terhalang jarak. Dia jatuh cinta kepada musik tradisi justru saat tinggal di belahan lain Bumi. Setelah menjejak Tanah Air kembali, dia menyimpan mimpi ikut membangun industri musik di negeri ini.

Sore itu, di Studio iCanStudioLive tempatnya berkerja, Windy muncul dengan kaus hitam longgar, celana pendek (juga hitam), dan sepatu olahraga. Di telinganya berderet tindikan. Sebuah peniti ikut terselip mengisi lubang tindik. Rambutnya diikat habis ke belakang, menyisakan tirai poni menutupi dahi. Wajahnya bersih pulasan.

"Sebentar, ya, saya ambil pakaian ganti," ujar Windy lalu menghilang ke luar studio. Sesaat kemudian Windy kembali dengan sehelai sarung kotak-kotak hijau yang biasa dipakai bapak-bapak waktu ronda. Dia tenteng pula sepasang sendal jepit.

"Enak lho, pakai sarung," lanjut Windy. Kakinya sudah terangkat dan terlipat manis di atas sofa.

Itulah Windy dengan segala kenyentrikannya. Dia nyaman berlindung di dalam sarung, konon ada sepuluh lembar sarung miliknya. Senyaman itu pula dia bekerja di antara kabel dan instrumen di studio atau lokasi pertunjukan ditemani kopi hitam. Windy yang suka bergaya maskulin menjadi segelintir perempuan yang menekuni bidang tata suara. Penyanyi dan pemusik seperti grup Balawan, Tompi, Raisa, Piyu PADI, dan Indra Lesmana pernah bekerja sama dengan Windy.

Sinyal-sinyal suara bakal diselaraskan sehingga harmonis dan enak didengar. Windy pun menguasai teknologi digital untuk menciptakan suara dan efek. "Suara sember bisa dibuat merdu, he-he-he," tawanya memenuhi ruang studio. "Tetapi, penyanyi dan musisi andal biasanya tidak butuh banyak sentuhan, cukup sedikit reverb (efek gema)," ujarnya.

Telinga dan insting Windy terlatih dengan suara. Hidupnya tak pernah jauh dari musik. Umur lima tahun, Windy mulai belajar piano. Setelah itu, dia menekuni biola delapan tahun lamanya dan kemudian gitar.

Windy bertolak ke Boston, Amerika Serikat, demi mendalami produksi musik. Selain berkuliah, dia bekerja di industri musik Amerika. Dia magang di Electric Lady Studios yang didirikan pemusik legendaris Jimi Hendrix. "Di sana, studio terpelihara. Itu studio tua dengan lift mirip lift barang yang dikerek-kerek, tetapi semua alat terawat dan berfungsi, tua atau baru," ujarnya. Windy sempat pula menjadi asisten administratif di World Music Institute kemudian sebagai manajer studio di Bridge Multimedia.

Di New York yang kosmopolit, kota tempatnya melanjutkan kuliah untuk gelar master, Windy kepincut jazz dan akordion. "Akordion pas untuk saya yang tidak bisa diam dan multitasking," kata Windy yang berguru kepada maestro dan arranger musik peraih Grammy Award, Gil Goldstein.

Ada pelajaran dari Goldstein yang tak dilupakannya. Permainan alat musik biasanya menuruti pakem. Namun, Goldstein memberi nasihat berbeda. "Apa yang menyenangkan ketika bermusik, jalankan saja. Kreativitas jangan dibatasi, bebaskan diri dari ikatan," kata Windy.
Musik tradisi di negeri jauh

Saat hidup berjarak ribuan kilometer dari Indonesia itulah Windy jatuh cinta kepada musik tradisi. "Sebelum pindah ke Boston, saya tidak pernah menyentuh gamelan. Mungkin karena saya besar di Jakarta," ujarnya.

Dalam sebuah pergelaran Malam Indonesia di Berklee, Boston, Windy menyaksikan Gamelan Galak Tika, grup gamelan Bali komunitas Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang didirikan Evan Zyporin. Windy terkagum-kagum dengan keindahan suara dan kemampuan warga asing memainkan alat musik negerinya.

"Kalau mereka jago, saya sebagai orang Indonesia harus lebih jago lagi, dong," ujar Windy berapi-api. Dia lalu bergabung dan menjadi satu-satunya orang Indonesia. Selama empat tahun, Windy berlatih seminggu dua kali dan merasakan ragam panggung bersama Galak Tika, termasuk panggung Carnegie Hall yang prestisius.

Windy tambah akrab dengan musik tradisi ketika diminta memanfaatkan satu set angklung oleh organisasi mahasiswa Indonesia di Amerika. Dia lalu belajar bermain angklung. Hasil berlatih dipertunjukkan pada malam International Folk Festival di Berklee. "Setiap tahun saya manggung main angklung," ujarnya.

Semangat Windy pun hadir ketika angklung ditetapkan sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity oleh badan PBB, UNESCO, tahun 2010. Selama empat bulan Windy melatih para istri pejabat dari The Permanent Mission of Indonesia to The United Nation bermain angklung untuk tampil di acara penetapan.

Bagi Windy, musik tradisi berdaya magis. Setiap membunyikan gamelan atau angklung, dia merasa seluruh energi bermusiknya mendesak keluar. "Apalagi memainkan gamelan. Padahal, saya bukan orang Bali," ujar Windy yang berdarah Garut, Malang, dan Tionghoa itu.

"Barangkali, ketika berada di luar negeri, orang baru melihat betapa kayanya Indonesia," ujar Windy.

Pantang "Ngaret"
Salah satu kebiasaan baik yang dibawa Windy Setiadi ketika pulang ke Tanah Air ialah tepat waktu. Ia pantang ngaret. ”Ya, jaga profesionalitas. Orang lain ngaret, saya tepat waktu,” ujarnya.

Tak jarang, Windy harus menunggu berjam-jam untuk sekadar sound check. "Pernah telatnya sampai empat jam. Sering malah. Saat saya datang, alat-alat belum siap. Walaupun begitu, saya selalu datang tepat waktu karena sudah kebiasaan," ujar Windy yang punya prinsip, jika ingin sukses, hidup harus disiplin, terutama dengan waktu.

Sejak pulang dua tahun lalu, Windy mulai mewujudkan mimpinya sebagai produser musik. Siang itu, seorang bocah berkacamata mengenakan rompi dan celana jins hilir mudik di dekat Windy. Itulah Joey Alexander (10), yang jago bermain piano.

"Saya sedang produksi album Joey. Ini album pertama dia, sekaligus album pertama yang saya produksi. Saya ingin melibatkan guru akordion saya, Gil, sebagai arranger," papar Windy menceritakan proyek di bawah bendera studio tempatnya bekerja itu.

Ini proyek idaman, tak hanya karena Joey sangat berbakat, tetapi Windy bebas berkreasi menentukan lagu, penata musik, dan pihak yang diajak kerja sama. "Supaya tetap kreatif, orang harus mempertahankan idealismenya dalam berkarya. Sebisa-bisanya saya ingin seperti itu," ujar Windy yang mendapat beasiswa di Berklee.

Untuk tugas akhir kuliah pun, Windy memilih produksi rekaman gamelan. Sampai-sampai dia meminjam dan mengangkut gamelan dari kampus MIT ke Berklee.

"Saya pulang ke Indonesia antara lain karena ingin ikut memajukan industri musik di sini," ujar Windy yang delapan tahun tinggal di Amerika. Dia ingin bakat-bakat dari negeri ini dikenal hingga ke luar negeri. Dari Indonesia untuk dunia. (INDIRA PERMANASARI)

Windy Setiadi          
Lahir: Jakarta, 13 Januari 1985
Pendidikan:
- Music Production and Engineering di Berklee College of Music, Boston, Amerika Serikat (S-1)
- Music Technology, New York University Steinhardt, Amerika Serikat (S-2)
Pekerjaan: Penata suara, musisi, dan produser musik.
Sumber :
Editor :
Ati Kamil

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

© 2013 iPRESS. All rights resevered. Designed by Templateism